Daun Kratom : Antara Khasiat, Regulasi dan Strandarisasi Produk

Kratom secara tradisional digunakan sebagai tanaman obat di Kalimantan dan daratan Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Myanmar. Daun tanaman sejenis kopi ini sangat populer di Amerika Serikat karena dipercaya dapat membantu mengurangi rasa sakit, membuat rileks dan membantu pecandu opium untuk berhenti. Namun legalitas kratom saat ini dipertanyakan banyak negara, dan Indonesia lewat Badan Narkotika Nasional sedang memroses kratom menjadi obat-obatan Golongan I. Apakah kratom tanaman obat atau obat terlarang?

Tanaman ini bagi sekitar 300.000 petani di Kalimantan menjadi sumber pendapatan. Matius yang dipanggil Mario oleh orang kampungnya, misalnya, termasuk di antaranya. Tanpa menggunakan alat, ia memanjat pohon kratom setinggi belasan meter di hutan di kampung Tembak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Pohon itu berbatang tunggal sehingga Mario harus mengapit kakinya agar bisa naik ke puncak pohon. Setibanya di puncak, dia mengeluarkan parang dan mulai menebas ranting-ranting yang berdaun. Begitu merasa cukup, dia turun dengan cara yang sama dengan dia naik. Itulah panen kratomnya hari itu.

Mario adalah salah satu petani di daerah itu yang membudidayakan kratom, meski terkadang dia masih memanen kratom langsung di hutan seperti sore itu. Dia memulainya lima tahun yang lalu, setelah diajarkan oleh temannya. Setelah mendapatkan manfaatnya, dia bahkan mengganti setengah hektar lahan karetnya menjadi kratom. “Agak enak kratom lah cara kerjanya dibanding karet. Walaupun musim hujan bisa menghasilkan uang, kalau karet mana bisa menghasilkan uang,” ungkapnya. Dalam satu hari dia dan dua temannya bisa memetik 200 kilogram daun kratom yang jika kering akan susut menjadi sepersepuluhnya. “Lumayan lah dapat 600.000 sehari. Tapi belum langsung jadi uang. Tapi paling tidak sudah kita petik, empat hari di rumah terus kita jemur sebentar sekitar lima menit baru kita kemas,” jelasnya.

Selain Mario, ada Theodorus Simbang yang hari itu memanen kratom. Theo, panggilannya, hanya perlu pergi ke belakang rumahnya untuk memanen kratom yang tumbuh liar di sana. Setelah daun terkumpul, Theo membagi-baginya dalam satu genggaman dan mengikatnya. Kemudian daun itu digantung di dalam rumahnya untuk dikeringkan. Di luar rumahnya juga ada daun yang digelar di halaman untuk dikeringkan di bawah matahari yang masih terik sore itu. Daun kering ini akan dbuat menjadi remahan hingga menjadi seperti remahan daun teh hijau kering.

“Setelah dari remahan ini kita proses ke penepungan, habis itu baru dikemas dan siap dijual dalam bentuk tepung,” ungkap Theo. Mulai memanen lima tahun yang lalu, Theo dan teman-temannya sekarang dapat mengumpulkan 300kg daun kering remahan untuk dijual dalam sebulan. Mario dan Theo adalah dua dari sekitar 300.000 petani di Kalbar yang mulai membuat kratom sebagai sumber mata pencaharian mereka, menurut Yosep, Ketua Pekrindo (Pengusaha Kratom Indonesia). Setiap bulan, rata-rata 300 hingga 500 ton kratom diekspor dari Kalbar, sekitar 80%nya adalah dalam bentuk bubuk, sisanya dalam bentuk daun kering remahan.

Kratom di mata regulator

Negara tujuan ekspor terbesar adalah Amerika Serikat, meski di beberapa negara bagiannya melarang kratom. Di negara bagian New York, bar-bar yang menyediakan kratom mulai bermunculan. Di negara ini, banyak konsumen kratom (dalam bentuk bubuk atau pil) menggunakannya untuk terapi ketergantungan opium, isu yang cukup pelik di negara itu, dengan lebih dari 130 orang mati dari overdosis opium setiap hari pada 2017, menurut Departemen Kesehatan (Health & Human Services) AS. Namun, status kratom di Amerika Serikat saat ini juga masih dalam limbo. Pada 2016, badan hukum narkoba (Drug Enforcement Administration) AS mengumumkan untuk memasukkan kratom ke Golongan I narkotika dan tak mengizinkan kratom digunakan dalam medis.

Namun protes keras dari para pengguna dan beberapa senator AS membuat departemen itu menunda keputusannya Di Indonesia sendiri, Badan Narkotika Nasional (BNN) sedang memroses kratom untuk dimasukkan ke Golongan I narkotika. “Kita sudah ajukan untuk dimasukan ke dalam appendix undang-undang 35 tahun 2009,” ungkap juru bicara BNN Sulistyo Pudjo. Pemerintah sendiri sedang gencar memberantas penggunaan narkotika yang sudah dianggap dalam kondisi darurat dengan 3,2% dari seluruh populasi penduduk terindikasi sebagai pengguna narkotika, menurut data BNN. “Kita tidak mengharapkan loss generation,” tegas Sulistyo.

Jika masuk ke Golongan I narkotika, maka baik pengguna, pengedar, jaringan kratom akan diberlakukan hukuman seperti narkotika lainnya. Yang berarti, petani seperti Mario dan Theo, tak lagi dapat menanam kratom, meskipun permintaan legal dari negara lain masih besar. “Kepentingan bisnis kadang tidak kompatibel dengan kepentingan hukum. Kepentingan bisnis illegal ya illegal, legal ya legal,” ujar Pudjo. Lebih jauh Pudjo mengatakan bahwa pihaknya sudah mengingatkan masyarakat bahwa kratom ini termasuk narkotika sehingga tak ada lagi alasan untuk menanam tumbuhan tersebut.

Kratom di mata peneliti

Namun, peneliti kratom Dr. Ari Widiyantoro dari Jurusan Kimia FMIPA Universitas Tanjungpura berpendapat justru bukan pelarangan yang dibutuhkan terkait kratom, melainkan pengawasan lewat aturan resmi Kementerian Kesehatan, mengingat potensi kratom terkait kebutuhan medis. “Cuman masalahnya penggunaannya harus diatur, dosisnya terutama, dan siapa yang harus memakai,” kata Dr. Ari. Selain itu, dia juga mendukung agar dilakukan standardisasi produksi kratom karena para petani dan pengumpul kratom saat ini menjual daun tanpa membedakan usia daun, padahal semakin tua daun maka kadar mitragininnya semakin tinggi sehingga dampaknya ke pengguna juga akan berbeda.

“Dari berita dan buletin kesehatan di Amerika, packagingnya tidak bagus sehingga (bakteri) salmonela masuk. Itu memberikan cemaran kepada pasien sehingga tingkat kematian, infeksi menjadi tinggi,” Dr. Ari menambahkan. Dia juga menganjurkan agar riset terkait kratom terus dilakukan untuk mendalami efek-efek kratom, termasuk efek yang berbahaya. Lantas, apa efek dan kandungan dalam daun kratom? Berdasarkan penelitiannya, Dr. Ari menjelaskan bahwa kratom mengandung mitraginin yang berfungsi sebagai katalisator opium agar bisa bekerja dengan baik. Mitraginin ini juga dapat berfungsi sebagai pengganti opium sehingga jika diberikan kepada pengguna opium maka ketergantungan mereka pelan-pelan dapat berkurang.

Selain itu, mitraginin yang termasuk ke golongan alkaloid ini dapat memberikan efek sedatif dan anti nyeri. “Saya pernah uji coba ke mencit. Mencitnya kita beri panas, dosis semakin tinggi itu dia tidak merasa sakit,” papar Dr. Ari. Di saat bersamaan, Dr. Ari memperhatikan bahwa kratom ini dapat memberikan efek high atau mabuk kepada para pengguna tradisional di Kalimantan, meski dampak itu belum dibuktikannya secara klinis. Namun, jika dikonsumsi dalam dosis yang tepat, Dr. Ari yakin kratom tidak akan menyebabkan ketergantungan.

Kratom di mata pengguna

Kembali di Kampung Tembak, para peminum teh kratom di sana mengaku, meski mereka cukup sering mengkonsumsi kratom, tidak menyebabkan mereka ketergantungan hingga “mencari-cari” kratom setiap hari. Di sana, warga meminum daun kratom kering yang diseduh dengan air panas, persis seperti membuat teh. Bukan hanya tampilannya saja yang mirip teh, namun bau dan rasanya pun mirip dengan teh hijau yang pahit. Mencobanya untuk pertama kali, saya bisa merasakan lebih rileks hanya dengan satu gelas – meski bisa saja karena sore itu angin sepoi-sepoi bertiup meneduhkan beranda tempat saya dan beberapa warga berkumpul, yah saya tak tahu pasti.

Namun, Sutono, warga Kampung Tembak yang sudah mengkonsumsi kratom selama 10 tahun, yakin jika kratom mujarab sebagai obat. “Kalau kolesterol saya naik, (tekanan) darah saya naik, pasti turun darahnya. Tidak perlu pakai obat-obat lain. Jadi saya tetap mengonsumsi obat ini (kratom) secara rutin untuk menurunkan darah tinggi dan kolesterol,” kata Sutono. Begitupun Pascalis yakin bahwa kratom selama ini telah membantu sakit persendiannya dan juga untuk membantunya tidur. “Saya susah tidur. Untuk tidur, minum ini. Tidurnya total. Segar di pagi hari,” ungkapnya. Pascalis menolak jika dampak itu semua adalah sugesti pikiran belaka. “Tidak. Saya pribadi (merasakan), bukan terpengaruh,” katanya.

Pendapat yang langsung didukung oleh Agung. Bagaimanapun, kratom telah menjadi tanaman obat bagi mereka secara turun-menurun. “Dulu orang-orang tua (minum), jadi dikonsumsi sudah lama, digunakan sebagai tanaman obat. Tapi ternyata ada yang cari, yang beli, ya sudah dibudidayakan saja. Berarti itu menjadi sumber pendapatan. Tetapi kalau tidak ada, tetap akan menjadi obat,” tutur Agung. Namun apakah tradisi itu harus dihentikan karena berubahnya legalitas kratom di Indonesia, pertanyaan itu hanya akan dapat dijawab oleh regulator.

Sumber : Kompas.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *